Profil saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Make It Simple Make It Fun :)

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Penguatan Peran Lembaga Penanggulangan Bencana di Indonesia


posted by Bumiku

No comments

Kejadian bencana gempabumi dan tsunami Aceh pada tahun 2004, gempabumi Sumatra Barat 28 maret 2005, gempabumi Bantul 27 mei 2006, gempabumi dan tsunami Mentawai dan letusan merapi 26 oktober 2010 telah menyadarkan masyarakat Indonesia terhadap kenyataan bahwa Indonesia terletak di daerah ancaman bencana. Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Akumulasi dari faktor-faktor bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang bersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda. Risiko merupakan fungsi dari bahaya (hazard), kerentanan dan kemampuan (IIRR, 2007). Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masyarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya.
Setiap elemen yang ada di masyarakat seperti Pemerintah, LSM, akademis, swasta, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan berlomba-lomba untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Berbagai kegiatan kelembagaan cukup efektif ketika pada masa tanggap darurat bencana. Namun seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga tersebut tidak lagi aktif dan terlupakan keberdaannya dan ketika bencana kembali terjadi maka lembaga-lembaga tersebut bekerja tidak seefektif dahulu. Jika kita melihat kejadian gempabumi dan tsunami Jepang pada tanggal 11 maret 2011 lalu semakin memperkuat alasan bahwa kesadaran masyarakat terutama di daerah rawan bencana menjadi agenda penting. Walaupun jumlah korban pada kejadian tersebut sangat besar yang disebabkan oleh dahsyatnya bencana. Meskipun demikian, Jepang dikenal sebagai negara yang memiliki kesiapan yang sangat tinggi dalam menghadapi bencana. Hal tersebut dapat dilihat pada kualitas bangunan yang ada, sistem manajemen bencana yang rapi dan di dukung teknologi yang memadai, dan pengetahuan serta kesadaran masyarakat yang cukup tinggi terhadap bencana. Tidak mengherankan ketika kita melihat pada tayangan televisi mengenai gempabumi dan tsunami Jepang mengenai tingkah masyarakat Jepang yang tertib dan berlindung ketempat yang lebih luas dan jauh dari bangunan, tidak ada penjarahan terhadap toko makanan, anak kecil yang berada di ruangan sekolah tahu apa yang harus dilakukan dengan bersembunyi di bawah meja yang kokoh dengan bantal topi yang melekat di atas kepala dan ada pula yang berada di tempat terbuka merundukkan badannya dalam posisi sujud.
Sikap dan tindakan menyelamatkan diri masyarakat Jepang telah menjadi habit, yang merupakan implementasi dari pengetahuan masyarakat Jepang yang matang dalam menghadapi bencana. Hal inilah yang juga harus dicapai oleh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana.
Bagaimana sistem penanggulangan bencana di Indonesia?. Sistem nasional penanggulangan bencana adalah adalah sistem pengaturan yang menyeluruh tentang kelembagaan, penyelenggaraan, tata-kerja dan mekanisme serta pendanaan dalam penanggulangan bencana, yang ditetapkan dalam pedoman atau peraturan dan perundangan. Sistem nasional PB ini terdiri dari komponen-komponen, yaitu: hukum, peraturan dan perundangan, kelembagaan, perencanaan, penyelenggaraan PB, pengelolaan sumberdaya, serta pendanaan (Triutomo, 2007). Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan  Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Dimensi baru dari rangkaian peraturan terkait dengan bencana tersebut adalah:
(1)    Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan proaktif dimulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi.
(2)    Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh para  pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi.
(3)    Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan sehingga mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana. Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara proses pengembangan kebijakan sedang berlangsung, proses lain  yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa provinsi dan kabupaten/kota mulai mengembangkan kebijakan, strategi, dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan kebijakan di tingkat nasional. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. Strategi  yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi  daerah.

Operasi penanggulangan bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan. Sistem penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu yang lalu, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang terkait. Dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar pada umumnya pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dan kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait. Dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik dari tingkat nasional hingga daerah yang secara umum, peraturan ini telah mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana.
Dalam sistem baru yang di atur UU No. 24 tahun 2007 jelas disebutkan mengenai peran masyarakat, namun belum menyebutkan dan atau mengatur pengorganisasian lembaga kemasyarakatan dalam penanggulangan bencana. Tidak ada satupun perangkat hukum atau aturan apapun mengenai hal ini. Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana tersebut sama sekali tidak menyinggung soal peran organisasi kemasyarakatan (masyarakat sipil) dalam kebencanaan. Undang-undang ini menyinggung peran perusahaan swasta dan lembaga asing termasuk PBB. Padahal masyarakat umum melalui organisasi-organisasi masyarakat sipil bisa melakukan berbagai langkah upaya penanggulangan bencana bahkan pengurangan risiko bencana. Bahkan peraturan pemerintah dibidang peran lembaga asing sudah ada. Tapi Peraturan Pemerintah (PP) tentang peran masyarakat sipil tidak bisa dikeluarkan karena memang tidak disinggung di undang-undang.
Jika penanggulangan masyarakat sudah dilibatkan dalam penanggulangan bencana, akan bisa menghindari ‘penyalahgunaan’ dana yang dikumpulkan dari masyarakat luas. Bantuan yang disalurkan juga lebih efisien artinya bisa cepat sampai. Dan efektif artinya sesuai atau cocok dengan kebutuhan nyata masyarakat dan tepat sasaran. Selain itu, bantuan yang disalurkan akuntabel, yang berarti bisa dipertanggung-jawabkan atau ada kesesuaian antara bantuan yang diberikan dan belanja. Juga ada transparasi atau keterbukaan dalam penyaluran dalam berbagai bentuknya.

Adapun sistem penanggulangan bencana Indonesia setelah keluarnya UU No 24 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

Sumber : bpdjateng.info
Selama ini lembaga pemerintah yang eksis terlihat pada setiap kondisi tanggap darurat ketika terjadi bencana adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Departemen Sosial (DEPSOS), dan Palang Merah Indonesia (PMI). Pada masing-masing lembaga ini jika ditilik memiliki kewenangan yang berbeda. Menurut UU No 24 tahun 2007 pasal 13 bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi meliputi perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Sedangkan DEPSOS memiliki wewenang dalam memberikan bantuan. Hal ini didasarkan pada Tugas Pokok Menteri Sosial Sebagai Anggota BAKORNAS PB (PERPRES N0 83 Tahun 2005) yaitu mengkoordinasi dan mengendalikan penanggulangan Bencana Bidang Bantuan Sosial. Bantuan Sosial yang dipersiapkan DEPSOS terbagi menjadi tiga fase yaitu Pra Bencana/Kesiapsiagaan, Saat Bencana/Tanggap Darurat dan Pasca Bencana/Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Dan untuk PMI berkewajiban memberikan pertolongan dan bantuan pada fase darurat kepada yang membutuhkan secara profesional berdasarkan prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional. Kegiatan respon bencana yang diutamakan PMI meliputi evaluasi penyelamatan korban dan pertolongan pertama dengan memprioritaskan kaum rentan, seperti ibu hamil/menyusui, anak-anak, dan manula.
Lembaga yang baik adalah lembaga yang paham dan sadar akan kewenangan yang berlaku. Jika kita identifikasi pada masing-masing lembaga memiliki kewenangan yang berbeda. Dari sini dapat dikatakan bahwa tugas BNPB sebagai badan koordinasi, Despsos sebagai badan implementasi sedangkan PMI siaga melakukan pertolongan pertama bagi korban bencana. Namun, dilapangan sering terlihat pada masing-masing lembaga kurang berkoordinasi dengan baik dan sering tumpang tindih terhadap kewenangan. Koordinasi dan transparasi pada tiap lembaga dalam penanggulangan bencana dapat berjalan dengan baik dengan melibatkan tim di luar lembaga misalnya melibatkan masyarakat lokal yang mempunyai peran di lokasi bencana agar lembaga tidak terkesan kaku terhadap kewenangan yang dijalankan. Yang perlu dicermati adalah banyaknya lembaga yang menangani bencana dapat menimbulkan tumpang tindih dan kebingungan menyangkut domain tugas dan tanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Koordinasi juga perlu ditingkatkan dengan lembaga-lembaga non-pemerintah yang juga melaksanakan tugas kebencanaan dengan menghimpun dan menyalurkan sumber daya dan bantuan bagi penanggulangan bencana. Hal ini harus dikelola dengan baik dan perlu dibangun format komunikasi dan koordinasi yang efektif sehingga tidak menjadi masalah baru dalam proses penanggulangan bencana.
Indonesia dengan potensi bencana yang luar biasa besar, kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana saat ini masih jauh dari memadai. Peningkatan unit-unit UPTD masih perlu ditingkatkan sesuai kebutuhan. Semua lapisan masyarakat menginginkan lembaga penanggulangan bencana yang di dukung sumberdaya manusia (SDM) terlatih yang siap diterjunkan ke medan tersulit sekalipun. Dalam menciptakan SDM yang berkualitas dan berbagai kegiatan untuk mengurangi risiko bencana tentunya di dukung pula dengan pendanaan yang memadai dan terukur dalam APBN dan APBD. Penguatan kelembagaan di tingkat lokal hingga nasional dan koordinasi rutin berkelanjutan dapat menguatkan peran lembaga dalam penanggulangan bencana. Grand desain diperlukan dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan dan standar penanganan bencana yang cepat, tanggap, dan profesional sesuai dengan standar internasional. Misalnya pada negara maju (Australia dan Amerika), pusat penanggulangan bencana mereka bermarkas di pangkalan undara, yang dilengkapi peralatan yang memadai, bahkan beberapa didukung dengan pesawat khusus gerak cepat yang berfungsi sebagai penyuplai logistik yang dilengkapi pula rumah sakit darurat. UU 24/2007 jelas menegaskan penanggulangan bencana bukan sekadar aksi tanggap darurat. Akan tetapi juga meliputi proses yang lebih luas, yaitu mitigasi (prabencana) dan rekontruksi-rehabilitasi (pascabencana). Berbagai lembaga penanggulangan bencana harus memberikan prioritas yang proporsional terhadap ketiga tahap penanggulangan bencana tersebut, khususnya pada tahap mitigasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi masih sering tersendat bahkan tidak jelas penanganannya (Sutjahjo, 2011)
Mitigasi adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, mitigasi dilakukan pada tahap pra bencana (IIRR, 2007). Berkaitan dengan proses mitigasi, pemerintah harus mengoptimalkan peran partisipatif dari seluruh stakholder bencana. Misalnya dengan melibatkan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi. Perguruan tinggi dilibatkan dengan tujuan agar dapat mendekati bencana dengan teori ilmu pengetahuan yang ada, yang sebetulnya bisa dijadikan dasar bagi kita untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam rangka peningkatan pengetahuan kebencanaan bagi masyarakat. Selain hal tersebut, dalam pelibatan perguruan tinggi dapat merumuskan peta daerah rawan bencana, penerbitan modul dan sistem informasi dalam penanganan bencana, pelatihan penanganan bencana yang berbasis komunitas dan pemulihan sosial pasca bencana. Dengan pola kerja sama yang sinergis, diharapkan peran pemerintah dalam menanggulangi bencana tidak sekadar menjadi ‘pemadam kebakaran' jika terjadi bencana. Pemerintah dapat lebih berperan pada tahap prabencana dan mampu mengembangkan kesiagaan bencana nasional, khususnya kemampuan pengelolaan bencana.
Strategi dan program pendidikan guna mengantisipasi bencana alam sekaligus membangun jaringan stakeholders yang berperan dalam program antisipasi dan pendidikan kebencanaan merupakan rumusan untuk pensinergian antara pemerintah dan stakeholder kebencanaan. Tindak lanjutnya dapat diwujudkan dengan pemberdayaan masyarakat untuk mampu beradaptasi dan bertahan hidup dengan lingkungan yang rawan bencana. Dengan strategi yang tepat, diharapkan program pendidikan untuk antisipasi bencana alam dapat dilakukan secara efektif, nantinya diharapkan masyarakat  dapat lebih berdaya dan antisipatif dalam menyikapi bencana alam.


REFERENSI :
             ,   Undang-Undang  No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
              ,   Undang-undang Nomor 11 Thn 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.
              , Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang  Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.IIRR. 2007. Membangun Ketahanan Masyarakat
IIRR, CordAid. 2007, Membangun Ketahanan Masyarakat; Buku Panduan Pengurangan Risiko Bencana oleh Masyarakat.
Sari, 2007, Mitigasi Bencana Alam Tsunami di Indonesia : Sumbangan Pemikiran, http://groups.google.com/group/soc.culture.indonesia. Diakses tanggal 2 Januari 2009.
Situmorang, Chazali. 2007. Peran Departemen Sosial dalam Penanggulangan Bencana (disampaikan pada semiloka penaggulangan bencana “refleksi 2 tahun tsunami NAD dan SUMUT). DEPSOS, Jakarta.
http://bpbdjateng.info/telaah/ringkasan.pdf di akses tanggal 19 maret 2011 pukul 19.45 oleh eniheldayani@yahoo.com
http://www.bnpb.go.id/website/asp/index.asp di akses tanggal 19 maret 2011 pukul 20.10 oleh eniheldayani@yahoo.com
http://www.pmi.or.id/ina/program/?id_sub=1 di akses tanggal 19 maret 2011 pukul 20.15 oleh eniheldayani@yahoo.com
http://www.depsos.go.id/ di akses tanggal 19 maret 2011 pukul 20.20  oleh eniheldayani@yahoo.com

Leave a Reply